Itusebenarnya sudah ada sejak lama di pesantren. Intisari pendidikan karakter itu adalah akhlak. Di pesantren, para santri dididik agar punya keteguhan dalam berprinsip. Lantas, ilmu itu tidak hanya dipahami, tetapi juga didalami, diinternalisasi, dan bahkan dijiwai. Proses seperti itu, menurut saya, hanya ada di pesantren. Perbedaanhaji dan umroh terletak di beberapa aspek. Ibadah haji adalah salah satudari rukun Islam kewajiban berhaji yakni sekali seumur hidup sebagai orang Islam yang mampu untuk melaksanakan ibadah ini. apabila orang yang telah mampu untuk melaksanakan ibadah haji tetepi enggan untuk berangkat maka iya berdosa, tetapi berbeda dengan umroh, umroh adalah ibadah hukumya sunnah muakkad, artinya TranslatePDF. MENDALAMI IBADAH MAHDHAH DAN GHAIRU MAHDHAH SERTA RUANG LINGKUPNYA Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam Dosen : Siti Aminah, S.Ag, M.Ag Disusun Oleh : 1. Irene Srinita (13130210234) 2. Nadya Kurniawati (13130210247) FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN UNIVERSITAS ISLAM KADIRI KEDIRI 2013 1 f KATA PENGANTAR Puji syukur Umrohatau haji kecil itu bagus juga apabila dilaksanakan pada bulan Ramadhan, sebab nilainya bisa berlipat-lipat, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah kepada seorang wanita dari anshar bernama Ummu Sinan: "Agar apabila datang bulan Ramadhan ia melakukan umroh, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah SAW. (Hr. KeduaCucu Rasulullah SAW Hasan dan Husain Pernah Haji 25 Kali dengan Jalan Kaki Tuesday, 07 Jun 2022 04:50 WIB. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Cucu Nabi Muhammad ﷺ, Al Hasan dan Al Husain termasuk di antara sahabat yang tekun beribadah. Keduanya juga pernah menjalankan ibadah haji selama 25 kali dengan Ibadahmahdhah ini, menurut Ibnu Rusydi pasti membutuhkan niat dalam pelaksanaannya. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah ibadah yang maksud penerapannya dapat dijangkau oleh akal. Seperti mensucikan sesuatu yang terkena najis sebelum melaksanakan ibadah shalat, tujuan diwajibkannya hal tersebut dapat dijangkau oleh akal manusia. B Prinsip-Prinsip Ibadah Ghairu Mahdhah. Ibadah Ghairu mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya: 1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini. A Pengertian. Kata Haji berasal dari bahasa arab dan mempunyai arti secara bahasa dan istilah. Dari segi bahasa haji berarti menyengaja, dari segi syar'i haji berarti menyengaja mengunjungi Ka'bah untuk mengerjakan ibadah yang meliputi thawaf, sa'i, wuquf dan ibadah-ibadah lainnya untuk memenuhi perintah Allah SWT dan mengharap keridlaan Hajidan umrah merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki banyak persamaan meliputi syarat wajib, syarat sah, kesunnahan, hal-hal yang membatalkan, dan perkara-perkara yang diharamkan saat melakukan dua ibadah tersebut. Meski demikian, keduanya juga memiliki beberapa titik perbedaan. Berikut ini penjelasannya. Hukum Jenisibadah yang termasuk mahdhah, adalah : Ø Wudhu, Ø Tayammum Ø Mandi hadats Ø Shalat Ø Shiyam ( Puasa ) Ø Haji Ø Umrah 'Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip: a. warnanya, atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk kedalam air itu kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir, Menurut istilah, para Sahhukumnya menyewakan jasa pelaksana ibadah seperti haji, umrah, dan shalat Thawaf (disamakan dengan haji dan umrah), sebagai pengganti orang yang telah meninggal atau orang yang tidak mampu secara fisik. Alasannya, haji, umrah, dan sejenisnya tidak tergolong ibadah mahdhah, melainkan ibadah yang melibatkan unsur agama berikut kemampuan 3Agustus 2022 7.42 AM. Kementerian Agama menyatakan bahwa Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi telah membuka seluas-luasnya jumlah kuota jamaah umrah tahun 1444 H, khususnya dari Indonesia. "Alhamdulillah, dari pertemuan ini kita mendapat kepastian bahwa Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi membuka seluas-luasnya jumlah kuota jemaah umrah 3 Tata Urutan Pelaksanaan Ibadah Umroh a. Melakukan ihram dengan niat umrah dari miqat makani yang telah di tentukan, sebelumm berihram ada beberapa ha yang perlu dilakukan: 1) Memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, mandi, menyisir rambut dan merapikan jenggot. f 2) Memakai mwangi-wangian. Dalamhal ini juga tak terkecuali Mabit dan Tahallul yang harus dilakukan oleh para jamaah saat melakukan ibadah haji ataupun ibadah umroh. Dan berikut ini faidah atau hikmah dibaliknya: Bermalam di Mina pada hari-hari Tasriq, yaitu 11, 12, 13 Dzulhijah termasuk wajib haji, dimulai sejak sore hari sampai fajar atau paling sedikit sampai 2/3 Yunus 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari'at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu' Al Fatawa, 29: 17). Contoh Penerapan Kaedah - Beribadah dengan tepuk tangan dan musik dalam rangka taqorrub pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufi. 9FBo. Teks Jawaban Wahyu telah memberikan petunjuknya terkait hikmah umum dari disyari’atkan haji dan umroh, di antaranya adalah sebagaimana yang telah disebutkan secara global di dalam Al Qur’an وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ، ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ الحج 27 – 30 “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan sebahagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu Baitullah. Demikianlah perintah Allah. Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. QS. Al Hajj 27-30 Haji dan umroh dan manasik pada keduanya dalam rangka menghadirkan tauhid kepada Allah Ta’ala, karena meninggalkan perkataan dusta, termasuk meninggalkan syirik dengan semua penampakan, jenis dan tingkatannya, dan menjadikan kesempurnaan haji dan umroh hanya untuk Allah semata. Allah Ta’ala berfirman وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ البقرة 196 . “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah”. QS. Al Baqarah 196 Dan dari Jabir bin Abdullah –saat beliau menjelaskan sifat dari hajinya Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- ... فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ رواه مسلم 1218 “Seraya beliau memulai dengan kalimat tauhid “Ya Allah kami datang memenuhi panggilan-Mu, kami datang memenuhi panggilan-Mu yang tidak ada sekutu bagi-Mu kami datang memenuhi panggilan-Mu, sungguh pujian, nikmat dan kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”. HR. Muslim 1218 Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata “Adapun haji adalah hal lain yang tidak bisa diketahui kecuali oleh mereka yang lurus di mana mereka membidik cinta dengan anak panah, posisinya teramat agung untuk bisa diungkapkan, hal itu hanya ada pada agama yang lurus ini, hingga dikatakan terkait dengan firman Allah Ta’ala حُنَفَاءَ لِلَّهِ “Dengan ikhlas kepada Allah”. QS. Al Hajj 31 Maksudnya adalah mereka para jama’ah haji. Dan Allah telah menjadikan masjidil haram sebagai tiang bagi manusia, tiang dunia yang bertumpu di atasnya bangunannya, kalau saja manusia telah meninggalkan haji dalam satu tahun, maka langit akan tersungkur ke bumi, demikianlah yang telah disampaikan oleh sang penerjemah Al Qur’an Ibnu Abbas, beliau berkata “Masjidil haram adalah tiangnya dunia, maka ia akan senantiasa berdiri dan rumah Allah tersebut akan senantiasa dikunjungi oleh para jama’ah haji”. Haji itu menjadi ciri khusus dari Hanifiyah agama yang lurus karena menjadi pondasi dari pada tauhid semata dan kecintaan yang ikhlas”. Miftah Daar As Sa’aadah 2/869 Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata “Haji itu semuanya sebagai ajakan untuk mentauhidkan-Nya, istiqamah di atas agama-Nya, tetap tegar berada pada apa yang karenanya Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- diutus oleh-Nya, tujuan paling agung dari haji adalah mengarahkan manusia untuk mentauhidkan Allah, ikhlas beribadah kepada-Nya, mengikuti Rasul-Nya –shallallahu alaihi wa sallam- dalam kebenaran dan petunjuk dalam haji dan yang lainnya di mana Allah mengutus beliau karena-Nya”. Talbiyah saat pertama kali jama’ah haji dan umroh tiba adalah لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك “Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu”. Ia mendeklarasikan tauhidnya kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, dan bahwa Allah –Subhanahu- tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian juga dalam bab thawaf, ia mengingat Allah dan mengagungkan-Nya, dan beribadah kepada-Nya semata dengan thawaf tersebut, dan melaksanakan sa’i dan beribadah kepada-Nya semata dengan sa’i tersebut, tidak karena tujuan lainnya, demikian juga tahallul mencukur gundul atau sebagian dari rambutnya, termasuk menyembelih hewan al Hadyu sembelihan haji dan hewan qurban, semua itu karena Allah semata, termasuk dzikir-dzikir yang dilantunkan di Arafah, Muzdalifah dan Mina, semuanya menyebut nama Allah, mentauhidkan-Nya, dan mengajak kepada kebenaran dan menjadi petunjuk bagi para hamba, dan yang menjadi kewajiban mereka adalah beribadah kepada Allah semata, dan agar mereka saling bergandengan tangan, saling tolong-menolong dan saling menasehati dalam hal tersebut”. Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 16/186-187 Haji adalah menegakkan dzikir kepada Allah Ta’ala, pada setiap manasik dari manasik-manasiknya terdapat dzikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana petunjuk dari ayat ini وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan”. QS. Al Hajj 28 Allah Ta’ala berfirman ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ،فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا البقرة 198 – 199 “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak `Arafah dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut membangga-banggakan nenek moyangmu, atau bahkan berzikirlah lebih banyak dari itu”. QS. Al Baqarah 198-199 Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata “Bahkan hal itu –maksudnya dzikir- adalah ruh, inti dan tujuan dari haji, sebagimana sabda Nabi إنما جعل الطواف بالبيت، والسعي بين الصفا والمروة، ورمي الجمار لإقامة ذكر الله “Bahwa dijadikan thawaf di baitullah, sa’i di antara bukit Shafa dan Marwah dan melempar jumrah, untuk menegakkan dzikir kepada Allah”. Madarikus Salikin 4/2537 Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah ta’ala- berkata “Dzikir itu termasuk bagian dari manfaat yang disebutkan di dalam firman Allah لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan”. QS. Al Hajj 28 Dihubungkannya dengan manfaat dari sisi menghubungkan sesuatu yang khusus kepada sesuatu yang umum, dan telah ditetapkan riwayatnya dari Nabi –shalallahu alaihi wa sallam- bersabda إنما جعل الطواف بالبيت والسعي بين الصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله “Sungguh dijadikan thawaf di Baitullah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumroh adalah untuk mewujudkan dzikir kepada Allah”. Dan beliau juga telah mensyari’atkan bagi manusia sebagaimana yang ada di dalam Al Qur’an yaitu; menyebut nama Allah saat menyembelih, dan telah mensyari’atkan bagi mereka menyebut nama Allah saat melempar jumrah, dan setiap jenis manasik haji adalah dzikir kepada Allah, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Haji dengan semua aktifitas dan perkataannya semuanya adalah dzikir kepada Allah”. Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Baaz 16/185-186 Dan di dalam manasik haji dan umroh akan terealisasikannya banyak manfaat diniyah dan duniawi bagi para jama’ah haji dan umroh, dan bagi penduduk tanah haram dan mereka yang mukim di sana, dan pada hikmah ini ayat tersebut memberikan isyarat لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka”. QS. Al Hajj 28 Syeikh Abdurrahman As Sa’di –rahimahullah- berkata “Agar dengan Baitullah mereka mendapatkan manfaat diniyah, dari mulai ibadah utama, dan ibadah-ibadah yang tidak bisa dikerjakan kecuali di sana, dan manfaat duniawi, seperti penghasilan, dan mendapatkan keuntungan duniawi, semua itu adalah hal yang bisa dilihat oleh mata, semua orang mengetahuinya”. Tafsir As Sa’di 536 Dan bagian dari manfaat ini adalah berkumpulnya umat Islam dari semua negara, mereka jadi saling mengenal satu sama lain, sebagian mereka mendapatkan manfaat dari sebagian lainnya, baik dari sisi ilmu, bisnis dan manfaat lainnya, persatuan mereka semakin bertambah dengan bersatunya keadaan mereka, penampakan mereka, dan tujuan dari perjalan mereka ini. Umat Islam tampak bersatu dengan penampilan yang bersatu pada tempat, waktu, aktifitas dan posisi. Mereka semua berdiri di masya’iril haram pada satu waktu, aktifitas mereka satu, posisi mereka satu, dengan dua helai kain atasan dan bawahan, tunduk dan hina di hadapan Allah Azza wa Jalla. Apa yang dihasilkan dari semua penyembelihan, dan hewan Al Hadyu yang wajib maupun yang sunnah, dalam rangka mengagungkan kehormatan Allah dan menikmatinya dengan mengkonsumsinya, menghadiahkan dan mensedekahkan kepapada fakir miskin. Majmu’ Fatawa wa Rasail Al Utsaimin 24/241 Kedua Adapun hikmah dari urutan manasik haji dan umroh begitu tampak Pertama dengan ihram dan talbiyah, dengan keduanya seorang muslim mengumumkan untuk memasuki manasik haji dan umroh, dan komitmen dirinya pada hukum-hukum keduanya, dan memulai melaksanakan thawaf saat sampai di Makkah; karena Baitullah adalah yang paling agung yang di dalam Haram, dan thawaf termasuk rukun haji dan umroh yang paling penting, maka menjadi hal yang sesuai dimulai dengannya bukan dengan yang lain, setelah selesai dengan amalan yang berkaitan dengan Baitullah, maka menjadi cocok untuk berpindah pada amalan lainnya, yaitu; sa’i antara bukit Shafa dan Marwah karena keduanya yang paling dekat dengan Baitullah, lalu mabit di Mina; karena menjadi persiapan untuk rukun terpenting dalam ibadah haji, yaitu; wukuf di Arafah, kemudian mabit di Muzdalifah; karena ia menjadi jalan untuk sisa manasik haji lainnya setelah thawaf ifadhah dari Arafah, maka menjadi sesuai jama’ah haji untuk beristirahat di sana untuk persiapan mengerjakan amalan pada hari Nahr tanggal 10, kemudian berikutnya melempar jumrah; karena jumrah ada di Mina dan setelah Muzdalifah, dan tahallul serta qurban sesuai dilakukan pada hari tersebut; karena hari itu adalah hari raya idul Adha, kemudian melakukan thawaf di Ka’bah sebagai bentuk syukur kepada Allah untuk menyempurnakan amalan haji yang paling penting, kemudian berikutnya mabit di Mina –yaitu; tempat di mana Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- menyembelih sembelihan hajinya- maka menjadi sesuai jika jama’ah haji bermalam di sana selama hari tasyrik Tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, untuk berdzikir kepada Allah dan menyembelih sembelihan haji, memakannya dan membagikannya. Dari Nubaisyah al Hudzali berkata “Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وزاد في رواية وَذِكْرٍ لِلَّهِ رواه مسلم 1141. “Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”. Ada tambahan pada riwayat lain “Dan untuk berdzikir kepada Allah”. HR. Muslim 1141 Dan karenanya dilarang berpuasa pada hari-hari tasyrik, kecuali mereka yang tidak mendapatkan al Hadyu hewan sembelihan haji. Dari Urwah, dari Aisyah, dari Salim, dari Ibnu Umar –radhiyallahu anhum- berkata لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الهَدْيَ رواه البخاري 1997. “Tidak ada keringanan pada hari-hari tasyrik untuk berpuasa di dalamnya, kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan sembelihan haji”. HR. Bukhori 1997 Kemudian turun ke Makkah untuk melaksanakan thawaf wada’ dan jama’ah haji meninggalkan Makkah. Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata “Adapun rahasia di dalam ibadah ihram ini, menjauhi kebiasaan, membuka kepala, menanggalkan pakaian biasanya, thawaf, wukuf di Arafah, melempar jumroh, dan semua masya’ir haji; apa saja kebaikan yang telah disaksikan oleh akal sehat dan fitrah yang lurus, dan mengetahui bahwa yang telah mensyari’atkan hal ini tidak ada hikmah di atas hikmah-Nya”. Miftah Daar As Sa’aadah 2/869 Sebagian para ulama telah melakukan ijtihad untuk mendapatkan hikmah yang terperinci untuk sebagian amalan haji dan umroh. Dan yang dikatakan terkait hal itu adalah Hikmah Tidak Mengenakan Pakaian Yang Berjahit. Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ pernah ditanya “Kenapa Allah Ta’ala telah mengharamkan kepada para jama’ah haji untuk memakai pakaian yang berjahit, apa hikmah di balik hal itu ?” Mereka menjawab Pertama Allah telah mewajibkan haji kepada orang mukallaf yang mampu mengadakan perjalanan ke sana, satu kali seumur hidup, dan Dia telah menjadikannya salah satu dari rukun Islam, hal itu termasuk perkara yang mudah diketahui di dalam agama, maka diwajibkan bagi seorang muslim untuk menunaikan kewajiban Allah tersebut, untuk mengharap ridha dari Allah dan melaksanakan perintah-Nya, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya, di sertai rasa percaya diri bahwa Allah Maha bijaksana dalam syari’at-Nya dan semua perbuatan-Nya, Maha penyayang kepada para hamba-Nya, Dia tidak mensyari’atkan kepada mereka kecuali yang akan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, dan manfaat luas yang akan kembali kepada mereka di dunia dan akhirat, dan kepada Tuhan kita Yang Maha Menguasai Maha Bijaksana Maha Suci sumber syari’at dan menjadi kewajiban seorang hamba adalah mengamalkannya dan berserah diri. Kedua Ada banyak hikmah dengan disyari’atkannya pakaian yang tidak berjahit pada ibadah haji dan umroh, di antaranya adalah mengingatkan keadaan manusia pada saat hari kebangkitan, karena mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam kondisi tanpa alas kaki dan telanjang kemudian mereka berpakaian, dan dalam mengingat kondisi di akhirat mengandung pelajaran dan hikmah, di antaranya Menundukkan jiwa, menjadikannya merasakan kewajiban tawadhu’ dan mensucikannya dari noda kesombongan. Di antara pelajaran lainnya adalah menjadikan jiwa merasakan mabda’pondasi berdekatan, persamaan, dan kesederhanaan, jauh dari kemewahan yang berlebihan, iba kepada orang-orang fakir dan miskin, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan telah dijelaskan oleh Rasul-Nya –shallallahu alaihi wa sallam-. Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ Abdullah bin Qu’uud, Abdullah bin Ghadyan, Abdur Razzaq Afifi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Fatawa Lajnah Daimah 11/1790180 Hikmah Thawaf dan Mencium Hajar Aswad. Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata “Hikmah dari thawaf Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- telah menjelaskannya saat beliau bersabda إنما جعل الطواف بالبيت والصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله “Sungguh telah dijadikan thawaf di Baitullah, Shafa dan Marwah, melempar jumrah untuk menegakkan dzikir kepada Allah”. Seorang yang thawaf di sekitar Baitullah ia melaksanakannya dengan hatinya untuk mengagungkan nama Allah Ta’ala yang akan menjadikannya sebagai orang yang berdzikir kepada Allah, dan pergerakannya dengan berjalan dan mencium, mendapatkan hajar aswad, rukun yamani, memberikan isyarat pada hajar aswad dalam rangka mengingat Allah; karena hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya, dan setiap ibadah adalah dzikir kepada Allah dengan makna yang umum, adapun apa yang diucapkan oleh lisannya dari mulai takbir, dzikir, dan do’a maka begitu tampak termasuk bagian dari dzikir kepada Allah Ta’ala. Adapun mencium hajar aswad hal termasuk ibadah; di mana manusia mencium batu yang tidak ada kaitan dengan dirinya, kecuali hanya dalam rangka beribadah kepada Allah dengan mengagungkan-Nya dan mengikuti Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- dalam hal itu, sebagaimana yang telah ditetapkan riwayatnya bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab –radhiyallahu anhu- bahwa beliau berkata saat mencium hajar aswad إني لأعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت رسول الله يقبلك ما قبلتك “Sungguh saya mengetahui bahwa kamu adalah batu, tidak membahayakan dan tidak mendatangkan manfaat, kalau saja saya tidak melihat Rasulullah menciummu maka saya tidak akan menciummu”. Adapun apa yang dianggap oleh sebagian orang-orang bodoh bahwa yang dimaksud dari amalan tersebut adalah bertabarruk mencari barakah dengannya, maka hal ini tidak ada dasarnya, maka menjadi batil”. Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Ibnu Utsaimin 2/318-319 Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata “Al Mahlab berkata “Sungguh telah disyari’atkan mencium –hajar aswad- itu sebuah ujian, agar diketahui dengan nyata ketaatan orang yang taat, dan hal itu mirip dengan kisah dari iblis yang telah diperintah untuk bersujud kepada Adam, dan pada ucapan Umar ini adalah bentuk penyerahan diri kepada pembuat syari’at dalam urusan agama dan mengikuti dengan baik dalam hal-hal yang belum nampak makna yang terkadung di baliknya”. Hal itu merupakan kaidah agung untuk mengikuti Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- terkait dengan apa yang beliau amalkan, meskipun belum diketahui hikmah di balik hal tersebut. Fathul Baari 3/463 Dari Ibnu Abbas berkata “Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda terkait dengan hajar وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا، وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ، يَشْهَدُ عَلَى مَنْ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ رواه الترمذي 961 وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. وصححه الألباني في "صحيح سنن الترمذي" 1 / 493. “Demi Allah, niscaya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dengan mempunyai kedua mata yang bisa melihat, dan lisan yang bisa bicara, dengan bersaksi atas orang yang telah mendapatkannya menciumnya dengan benar”. HR. Tirmidzi 961 dan ia berkata “ini adalah hadits hasan, dan telah ditashih oleh Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi Adapun terkait dengan Sa’i di antara bukit Shafa dan Marwah. Syeikh Muhammad Amin As Syinqithi –rahimahullah- “Adapun hikmahnya sa’i, telah dijelaskan di dalam nash yang shahih, yaitu yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori di dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma- terkait dengan kisah Nabi Ibrahim saat meninggalkan ibunda Hajar dan Ismail di Makkah, bahwa beliau telah meletakkan di sisi keduanya sebuah wadah yang ada kurmanya, dan wadah lain berisi air, dan di dalam hadits shahih tersebut berbunyi وجعلت أم إسماعيل ترضع إسماعيل، وتشرب من ذلك الماء، حتى إذا نفد ما في السقاء عطشت، وعطش ابنها، وجعلت تنظر إليه يتلوى، أو قال يتلبط، فانطلقت كراهية أن تنظر إليه، فوجدت الصفا أقرب جبل في الأرض يليها، فقامت عليه، ثم استقبلت الوادي تنظر هل ترى أحدا، فلم تر أحدا، فهبطت من الصفا حتى إذا بلغت الوادي رفعت طرف درعها، ثم سعت سعي الإنسان المجهود، حتى جاوزت الوادي، ثم أتت المروة فقامت عليها، ونظرت هل ترى أحدا، فلم تر أحدا، ففعلت ذلك سبع مرات قال ابن عباس قال النبي صلى الله عليه وسلم فذلك سعي الناس بينهما الحديث. “Dan Ibunya Ismail mulai menyusuinya, dan beliau meminum air tersebut, sampai air yang di wadah tersebut habis, lalu beliau dan anaknya merasa kehausan, beliau melihat anaknya mulai resah atau bingung, beliau pun bergegas pergi karena tidak mau melihat anaknya dalam kondisi seperti itu, beliau pun mendapati bukit Shafa gunung terdekat yang ada, beliau pun berdiri di sana, lalu menghadap ke lembah melihat apakah ada orang, ia pun tidak melihat ada orang, lalu beliau turun dari Shafa sampai di lembah dengan mengangkat ujung hastanya, kemudian beliau bersa’i jalan cepat seperti orang berjalan yang bersungguh-sungguh hingga melewati lembah tersebut, lalu tiba di bukit Marwah, ia pun berdiri di atasnya, dan melihat apakah ada orang, ia pun tidak melihat seorang pun, beliau melakukan hal itu sebanyak tujuh kali”. Ibnu Abbas berkata “Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda “Maka itulah ibadah sa’inya manusia di antara keduanya”. Al Hadits Dan sabda Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- pada hadits ini “Maka itulah ibadah sa’inya manusia di antara keduanya”, merupakan isyarat yang cukup akan hikmahnya sa’i antara Shafa dan Marwah; karena Hajar telah melakukan sa’i di antara keduanya seperti yang telah disebutkan sedang ia dalam kondisi sangat membutuhkan, dan sangat berharap kepada Rabbnya; karena buah hatinya Ismail ia melihatnya sedang gelisah kehausan di negeri yang tidak ada air dan juga tidak ada teman, kondisi Hajar juga dalam kelaparan dan kehausan dan sangat butuh kepada Pencipatanya –Jala Jalaluhu-, ia dalam kondisi sulit untuk mendaki gunung ini, jika ia tidak melihat apapun ia pun berlari ke gunung yang kedua mendakinya untuk melihat seseorang, maka Allah menyuruh manusia untuk melakukan sa’i di antara Shfa dan Marwah agar mereka merasakan bahwa kebutuhan dan kefakiran mereka kepada Pencipta dan Pemberi rizekinya seperti kebutuhan wanita tersebut dalam waktu yang sempit dan dalam kesusahan yang besar mengadu kepada Pencipta dan Pemberi rizeki kepadanya; agar mereka semuanya mengingat bahwa barang siapa yang taat kepada Allah seperti Ibrahim –semoga shalawat terlimpah kepada beliau dan kepada Nabi kita- yang Allah tidak menelantarkannya dan tidak menggagalkan doanya. Inilah hikmah berharga yang nampak yang ditunjukkan oleh hadits yang shahih”. Adhwa’ul Bayan 5/342-343 Hikmah Mabit/Bermalam di Mina Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya “Apa hikmah dari melempar jumrah dan mabit di Mina selama tiga hari, kami berharap dari anda yang terhormat untuk menjelaskan hikmah dari hal tersebut dan kami berterima kasih” Beliau menjawab “Kewajiban seorang muslim adalah taat kepada Rasul –shallallahu alaihi wa sallam- dan mengikuti syari’at, meskipun ia belum mengetahui hikmahnya, Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul –shallallahu alaihi wa sallam- dan mengikuti kitab-Nya, Allah Ta’ala berfirman اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”. QS. Al A’raf 3 Dan Dia juga berfirman وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ “Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia”. QS. Al An’am 155 Dia juga berfirman أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ “Dan ta`atlah kamu kepada Allah dan ta`atlah kamu kepada Rasul Nya”. QS. Al Maidah 92 Dia juga berfirman وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. QS. Al Hasyr 7 Maka jika anda mengetahui hikmahnya Alhamdulillah dan jika anda tidak mengetahuinya maka tidak masalah. Dan semua yang telah disyari’atkan oleh Allah ada hikmah di baliknya, dan semua yang telah dilarang oleh-Nya ada hikmah dibaliknya, baik kita mengetahuinya atau tidak mengetahuinya. Maka melempar jumrah adalah jelas hal itu untuk menjadikan syetan tersungkur dan untuk taat kepada Allah –Azza wa Jalla-. Dan bermalam di Mina, Allah Yang Maha Mengetahui hikmah di balik hal itu, dan mudah-mudahan hikmahnya adalah untuk memudahkan melempar jumrah jika bermalam di Mina supaya sibuk dengan berdzikir kepada Allah dan bersiap untuk melempar pada waktunya, jika ia mau ia akan pergi pada waktu yang ditentukan untuk melempar jumrah sesuai dengan waktu yang cocok baginya, jika tidak mabit di Mina mungkin ia akan terlambat atau tertinggal atau karena sibuk dengan hal lainnya. Dan Allah –Azza wa Jalla- Maha Mengetahui dengan hikmah –suhanahu wa ta’ala- dalam hal tersebut”. Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syeikh bin Baz 380-382 Hikmah Melempar Jumrah. Syeikh Mumammad Amin As Syinqithi –rahimahullah- berkata “Ketahuilah bahwa tidak diragukan lagi bahwa hikmahnya melempar jumrah secara umum adalah taat kepada Allah dengan apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan mengingat-Nya untuk mengerjakan kewajiban yang diperintahkan oleh-Nya melalui Nabi-Nya –shallallahu alaihi wa sallam-“. Abu Daud berkata di dalam Sunannya “Musaddad telah meriwayatkan kepada kami, dari Isa bin Yunus, dari Ubaidillah bin Abi Ziyad, dari Al Qasim, dari Aisyah berkata “Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda إنما جعل الطواف بالبيت، وبين الصفا والمروة، ورمي الجمار لإقامة ذكر الله ... “Sungguh dijadikannya thawaf di Baitullah, di antara Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah”. Dan Ubaidillah bin Abi Ziyad tersebut adalah Al Qadah Abu Hushain Al Makkiy, sekelompok orang menganggapnya terpercaya, dan sebagian lainnya menganggapnya lemah, dan makna dari haditsnya ini adalah tidak diragukan lagi benar adanya, dan yang menjadi saksi dari kebenaran maknanya adalah firman Allah Ta’ala وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ “Dan berzikirlah dengan menyebut Allah dalam beberapa hari yang berbilang”. QS. Al Baqarah 203 Karena hal itu masuk pada dzikir yang telah diperintahkan, yaitu; melempar jumrah dalilnya adalah firman Allah setelahnya فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ “Barangsiapa yang ingin cepat berangkat dari Mina sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya”. QS. Al Baqarah 203 Hal itu menunjukkan bahwa melempar jumrah telah disyari’atkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah sebagaimana hal itu nampak dengan jelas. Namun hikmah ini adalah hikmah global, Al Baihaqi –rahimahullah- telah meriwayatkan di dalam Sunannya dari Ibnu Abbas secara marfu’ berkata لما أتى إبراهيم خليل الله عليه السلام المناسك، عرض له الشيطان عند جمرة العقبة، فرماه بسبع حصيات، حتى ساخ في الأرض، ثم عرض له عند الجمرة الثانية، فرماه بسبع حصيات، حتى ساخ في الأرض، ثم عرض له في الجمرة الثالثة، فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض. قال ابن عباس رضي الله تعالى عنهما الشيطانَ ترجمون ، وملةَ أبيكم تتبعون انتهى بلفظه من السنن الكبرى للبيهقي . “Saat Ibrahim –khalilullah alaihis salam- melakukan manasik, maka syetan menawarkan kepada beliau sesuatu di jumrah Aqabah, maka beliau melemparnya dengan tujuh kerikil hingga pergi, lalu ia pun menawarannya pada jumrah yang kedua, lalu beliau pun melemparnya dengan tujuh kerikil sampai pergi menjauh, kemudian ia menawarkannya lagi pada jumrah yang ketiga, beliau pun melemparnya lagi dengan tujuh kerikil sampai pergi menjauh”. Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma- berkata “Syetan itu kalian akan melemparnya, dan agama ayah kalian akan mengikutinya”. Redaksi Sunan Kubro karya Al Baihaqi Al Hakim telah meriwayatkan hadits ini di dalam Al Mustadrak secara marfu’, lalu beliau berkata “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan syaratnya kedua imam Bukhori dan Mulim, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Atas dasar yang telah disebutkan oleh Al Baihaqi, maka dzikir kepada Allah yang disyari’atkan untuk melempar jumrah adalah menteladani Ibrahim dalam memusuhi syetan dan melemparnya dan tidak terikat dengannya, dan Allah berfirman قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim”. QS. Al Mumtahanah 4 Maka seakan melempar jumrah ini adalah simbolis dan isyarat untuk memusuhi syetan di mana Allah telah memerintahkannya kepada kita, di dalam firman-Nya إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh mu”. QS. Fathir 6 Dan firman-Nya yang lain dalam rangka mengingkari orang yang wala’ kepada syetan أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ “Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?”. QS. Al Kahfi 50 Dan seperti yang diketahui bahwa melempar dengan batu termasuk bentuk permusuhan yang paling besar”. Adhwa’ul Bayan 5/340-341 Inilah sebagian pendapat kami, dari apa yang telah dikatakan oleh para ulama terkait hukum amalan-amalan dalam ibadah haji, dan mayoritas di antaranya termasuk perkara ijtihadi, kebanyakan tidak ada nashnya bahwa itulah hikmah yang diinginkan dari disyari’atkannya rincian ibadah yang agung ini. Oleh karenanya, ada sekelompok para ulama berpendapat bahwa amalan-amalan dalam ibadah haji tidak bisa dicerna oleh akal sehat, telah disyari’atkan dalam kondisi seperti itu untuk menjadi ujian sejauh mana ketaatan para hamba Allah kepada Rabb mereka, dan Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan apa yang ia kehendaki. Ibnul Jauzi –rahimahullah- berkata “Ketahuilah bahwa hukum asal dari ibadah itu adalah masuk akal, yaitu; kehinaan seorang hamba di hadapan Tuhannya dengan berlaku taat kepada-Nya, karena shalat dalam ibadah termasuk tawadhu’ dan kerendahan yang difahami sebagai penghambaan”. Dan dalam zakat adalah makna yang difahami sebagai bentuk sosial dan peduli. Dan dalam puasa memecah syahwat diri untuk menuntunnya pada yang ia layani. Dan meninggikan Baitullah dan membangunnya ada tujuannya tersendiri, dan di sekitarnya dijadikan sebagai haram untuk mengagungkan-Nya, dan berdatangannya banyak manusia dalam kondisi kusut seperti berdatangannya seorang hamba kepada Penolongnya dengan kondisi hina dan membutuhkan adalah sebuah perkara yang bisa difahami. Setiap jiwa akan merasa bahagia dalam beribadah dengan apa yang ia fahami, maka kecenderungan diri kepadanya akan membantu dan mendorongnya untuk mengamalkannya, maka jiwa pun menjalankan tugas-tugas yang tidak ia fahami agar menjadi sempurna keterikatannya, seperti; sa’i, melempar jumrah, hal itu tidak ada bagian dari jiwa, tidak menjadikan kebiasaannya bahagia, akal tidak mengetahui maknanya, maka tidak menjadi pendorong untuk mengerjakan kewajiban, kecuali hanya perintah dan dengan keterikatan semata. Dengan penjelasan ini akan mengetahui rahasia di balik ibadah yang rumit”. Mutsirul Azmi as Sakin 285-286 Kesimpulannya wahai saudaraku…! Bahwa yang disyari’atkan bagi seorang hamba saat mengamalkan ibadah haji dan umrah, hendaknya jama’ah haji dan umrah mengingat apa yang disyari’atkan untuk diamalkan, lalu ia pun mengamalkannya. Dan apa yang tidak disyari’atkan maka ia tinggalkan. Dan hendaknya ia berijtihad untuk mentadabburi dzikir-dzikir yang telah diurutkan oleh syari’at pada setiap amalan haji dan umrah, hal itu termasuk tujuan dari ibadah haji yang agung sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jama’ah haji dan umrah tidak meninggalkan waktu saat melaksanakan ibadah haji dan umrahnya berlalu dengan sia-sia, namun hendaknya berusaha untuk selalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, sesuai dengan kemampuannya, dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Rabbnya dengan sebenarnya pengagungan, Allah Ta’ala berfirman ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ الحج/32 . “Demikianlah perintah Allah. Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. QS. Al Hajj 32 Dan untuk mengenali sifat ibadah haji dan umrah dan dzikir apa saja yang telah disyari’atkan di dalamnya silahkan merujuk pada beberapa soal berikut ini 31822, 31819, 34744, 47732, 10508, 109246, dan 220989. Wallahu A’lam Pernah mendengar istilah “haji kecil”? Baik, jika pernah, itulah nama lain dari umrah. Haji dan umrah adalah dua ibadah berbeda yang memiliki nama lain yang sama sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha. Jika Idul Fitri hadir dengan istilah lain al-idul ashghar id kecil, dan Idul Adha dengan istilah al-idul akbar id besar, maka ibadah haji pun dikenal dengan nama lain al-hajjul akbar haji besar dan umrah dengan nama al-hajjul ashghar haji kecil. Menariknya, istilah semacam ini tidak dibuat-buat “kemarin sore”. Melainkan sudah disematkan sekitar 14 abad silam oleh Baginda Nabi sendiri. Dalam sebuah riwayat Abdullah bin Abu Bakr, bahwa Baginda Nabi pernah menulis sebuah surat kepada Amr bin Hazm. Pada lembaran itu tertulis, Annal umrata hiya al-hajjul ashgharu Ibadah umrah sejatinya adalah haji kecil al-Umm, juz 2, hal. 145. Hal ini tentu untuk menjawab kegelisahan umat tentang apa sebenarnya umrah tersebut, sekaligus sebagai kelanjutan atas keterangan bahwa inti ibadah haji yang membedakannya dengan yang lain adalah wukuf di Arafah. Sehingga umrah yang tanpa wukuf ini, di samping memiliki cara pelaksanaan yang sama, disebut sebagai “haji kecil”. Pengertian Umrah Sejauh penelusuran penulis, tidak banyak ulama yang mendefinisikan umrah. Mereka rata-rata mendefinisikan haji. Karena mungkin bagi mereka cukup dengan mendefinisikan haji, umrah pun ikut. Hanya saja, di dalamnya nanti diterangkan ihwal wukuf di Arafah sebagai pembeda antara haji dan umrah. Adalah Syekh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi, seorang ulama kontemporer yang membidangi kepakaran fiqih dan ushul fiqh lahir di Mesir pada 1340 H, dan wafat di Riyadh pada 22 Ramadan 1440 H, termasuk di antara sederetan kecil ulama yang mendefinisikan umrah. Dalam satu karyanya, Fiqhul Islam Syarh Bulugul Maram juz 4, hal. 3, ia menulis pengertian umrah baik secara etimologi maupun terminologi. Pada bukunya itu, Abdul Qadir mengutip dua pendapat terkait makna etimologi umrah. Pertama, bermakna az-ziyarah berkunjung. Kedua, adalah derivasi dari imarah struktur bangunan, misalnya imaratul masjidil haram struktur bangunan Masjidil Haram. Secara terminologi, ia mengatakan; واصطلاحا هى الاحرام من الميقات والطواف والسعى والحلق أو التقصير Artinya, “Umrah adalah ibadah yang mencakup beberapa rangkaian berikut; ihram di miqat masing-masing, tawaf, sai dan mencukur, baik cukur botak’ maupun tidak.” Umrah dalam Cermin Sejarah Kendatipun umrah tidak masuk dalam lima rukun Islam sebagaimana haji, bukan berarti posisinya tidak penting. Bahkan, dua ibadah ini memiliki tempat yang sama-sama strategis, baik di hadapan Allah maupun dalam konstruk sosial. Terbukti, masyarakat Arab jahiliah pun telah mengenal dan mengultuskan keduanya. Mereka rajin menunaikan ibadah haji sebagai rutinitas tahunan mereka. Selain karena Ka’bah adalah kebanggaan masyarakat Arab, juga dalam rangka menapaktilasi jejak Baginda Nabi Ibrahim alaihissalam. Hanya saja, akibat kejahiliahan mereka, banyak dari rangkaian pelaksanaan ibadah haji—termasuk juga umrah—yang berubah; baik dikurangi maupun ditambah, seperti tidak melakukan wukuf di Arafah, sai antara Shafa dan Marwah dan malah berani melakukan an-nasi’ sikap tidak menghargai bulan-bulan haram al-asyhurul hurum, sehingga sangat mudah bagi mereka berperang di bulan itu. Sampai akhirnya Islam pun datang dan memperbaiki semua itu hingga kembali seperti semula sebagaimana yang dilakukan di masa Nabi Ibrahim. Baginda Nabi Muhammad sendiri, sebelum hijrah ke Madinah pernah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali seperti yang diwariskan leluhurnya, Ibrahim alaihissalam. Dan, ia pun menutup dan mengunci tata cara pelaksanaan tersebut. Rasulullah rupanya tak sudi membebek laku kotor jahiliah yang telah mengubah banyak hal dari yang semestinya. Kisah ini juga menjadi dalil gerakan “kembali ke khitah” yang pernah terjadi dalam tubuh ormas besar Nahdlatul Ulama NU. Alhasil, ibadah haji dan umrah sempat mengalami masa-masa kelam dalam catatan sejarahnya. Kisah singkat di atas disadur dari kitab al-Fikr as-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami juz 1, hal. 189 karya Syekh Muhammad bin al-Hasan bin al-Arabi bin Muhammad al-Hajwi w. 1376 H. Semoga kisah kelam ini tidak terjadi lagi untuk yang kedua kalinya. Hikmah Besar di Balik Ibadah Umrah Ada sebuah statement menarik dalam al-Firk as-Sami juz 1, hal. 191 yang akan menjadi kaidah dalam menyibak hikmah besar umrah. Muhammad bin al-Hasan menulis; وما قيل في الحج يقال في العمرة؛ لأنها قرنت به في كتاب الله Artinya, “Apa pun yang dibincangkan tentang haji, juga menjadi pembahasan ibadah umrah, sebab di dalam Al-Qur’an keduanya bersanding sangat dekat.” Termasuk dalam membincang hikmah-hikmah haji, juga menjadi bagian dari hikmah umrah. Haji dan umrah adalah sebuah momentum besar. Bahkan, tidak ada momentum lebih besar dalam dunia Islam selain keduanya. Siapa yang tak mengenal haji dan umrah ini. Berkat ketenaran dua istilah yang cukup eksesif itu, nyaris para jemaah haji masa lalu yang kini sudah pikun pun tidak akan melupakan dua istilah tersebut. Masih merujuk al-Firk as-Sami, pada juz dan halaman yang sama-ulama kelahiran 1291 H ini menulis hikmah besar haji dan umrah yang dirangkum dalam sebuah kalimat yang tak panjang. Berikut redaksinya; ومن حكمته الاجتماع والائتلاف والتعارف بين الأمم الإسلامية، وتفقُّد أحوال بعضهم، واقتباس العلوم والمتاجر وغير ذلك، فهو من المصالح الاجتماعية والدينية معًا Artinya. “Di antara hikmah haji dan umrah, yakni terciptanya sebuah perkumpulan besar dari segala penjuru dunia, lahirnya sebuah persatuan dan keakraban di antara seluruh umat Islam, juga dengan haji dan umrah sebagian umat dapat mengetahui kondisi sebagian yang lain. Selain itu, mereka berkesempatan meregup banyak ilmu dan peluang bisnis yang terbuka lebar, dan seterusnya. Haji dan umrah menjanjikan dua kemaslahatan besar; kemaslahatan sosial dan spirital secara bersamaan.” Terakhir, kita doakan semoga semua jemaah haji dan umrah tahun ini dan seterusnya, mendapatkan kemabruran dalam ibadah mereka. Amin. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab. Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB. Palembang - Ibadah haji dan umrah adalah bentuk ibadah umat Islam di tanah suci. Meskipun sama-sama dilakukan di tanah suci Mekkah, kedua ibadah ini memiliki sejumlah haji dan umrah dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya dari hukum, rukun, waktu pelaksanaan, tempat, durasi pelaksanaan, dan kewajiban. Berikut informasi HukumPerbedaan antara haji dan umrah dapat dilihat dari segi hukumnya. Hukum haji adalah kewajiban bagi individu yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Hal ini tercermin dalam hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut "Haji adalah kewajiban, sedangkan umrah adalah tatawwu'." Hadits Riwayat Muslim.Di sisi lain, hukum umrah adalah tatawwu'. Hal tersebut mengindikasikan bahwa melakukan umrah tidak diwajibkan, tetapi sangat dianjurkan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada umrah memiliki keutamaan yang besar dan diberi pahala. Namun, perintah untuk menjalankan haji hanya wajib dilaksanakan satu kali seumur Waktu PelaksanaanTerdapat perbedaan dalam waktu pelaksanaan haji dan umrah. Ibadah haji hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun. Pelaksanaan haji hanya diperbolehkan antara tanggal 1 Syawal hingga 13 itu, umrah dapat dilakukan kapan saja kecuali pada beberapa hari tertentu, seperti hari Arafah pada tanggal 10 Zulhijah dan hari-hari Tasyrik pada tanggal 11, 12, dan 13 RukunRukun yang dimiliki ibadah haji dan umrah pun memiliki jumlah yang berbeda. Hal tersebut menjadi perbedaan selanjutnya dari kedua ibadah haji memiliki lima rukun, di antaranya niat ihram, wukuf di Arafah, tawaf, sa'i, dan memotong rambut. Sementara itu, rukun umrah hanya terdiri dari empat, yaitu ihram, tawaf, sa'i, dan memotong rambut. Satu-satunya perbedaan antara haji dan umrah adalah wukuf di Padang Arafah, yang hanya dilakukan oleh jemaah KewajibanAda lima kewajiban dalam ibadah haji, yaitu niat ihram dari miqat, menginap di Muzdalifah, menginap di Mina, melakukan tawaf wada' atau tawaf perpisahan, dan melempar itu, kewajiban dalam ibadah umrah hanya terdiri dari dua, yaitu niat ihram dari miqat dan menjauhi larangan-larangan TempatHal berikutnya yang membedakan haji dan umrah terletak pada tempat pelaksanaan masing-masing ibadah tersebut. Ibadah haji mengharuskan jemaah untuk menjalankan beberapa rukun yang dilakukan di luar rukun tersebut termasuk berdiri di Arafah wukuf, melempar jumroh di Mina, dan menginap di Muzdalifah mabit. Sementara itu, umrah dilaksanakan di Mekah dan melakukan ziarah ke Durasi PelaksanaanPerbedaan selanjutnya terletak di durasi pelaksanaan. Ritual dalam ibadah haji umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pelaksanaannya dilakukan selama 4 hingga 5 hari. Dimulai sejak tanggal 9 Dzulhijjah hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Sementara itu, ritual dalam ibadah umrah hanya membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga perbedaan haji dan umrah yang dapat dilihat dari hukum, rukun, kewajiban, waktu dan durasi, serta tempat pelaksanannya. Semoga artikel ini bermanfaat. Simak Video "Cuaca Makkah Panas, Ini Imbauan untuk Jemaah Haji Indonesia" [GambasVideo 20detik] nkm/nkm Jakarta Pengertian haji secara istilah adalah menyengaja berkunjung ke Baitullah, di Makkah untuk melakukan ibadah pada waktu dan cara tertentu serta dilakukan dengan tertib. Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan. Oleh karena itu, seluruh umat Islam harus memahaminya. Tata Cara Haji dan Umrah yang Benar, Kenali Perbedaannya Tata Cara Daftar Haji Reguler Secara Detail, Dilengkapi Berkas yang Perlu Disiapkan Perbedaan Haji dan Umroh yang Perlu Diketahui, Kenali Pelaksanaannya Macam-macam haji dibagi berdasarkan waktu pelaksanaannya. Hal ini karena setiap jamaah terbagi menjadi beberapa kelompok terbang. Ada yang datang duluan, ada yang datang berdekatan di bulan Zulhijjah. Waktu pelaksanaan ini yang membedakan haji dengan umroh. Kalau umroh bisa kapanpun tanpa ada ikatan waktu, sedangkan haji harus dikerjakan di bulan Syawal, Zulqaidah dan Zulhijjah. Umroh sendiri merupakan ibadah sunah yang memiliki banyak keistimewaan. Terkait pelaksanaan, ada yang mengerjakan umrah terlebih dahulu baru haji, ada yang mengerjakan haji terlebih dahulu baru umroh dan ada yang meniatkan haji bersamaan dengan umrah. Namun, tidak ada ketentuan yang mewajibkan bahwa pelaksanaan ibadah haji harus disandingkan dengan ibadah umrah. Berikut rangkum dari berbagai sumber, Selasa 17/11/2020 tentang pengertian melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah di dalam Masjidil Haram saat melakukan rangkaian ibadah haji di tengah pandemi COVID-19 di Kota Suci Mekkah, Arab Saudi, Rabu 29/7/2020. Tawaf dilakukan dengan menjaga jarak mengikuti garis-garis yang telah ditentukan. Saudi Media Ministry via APPengertian haji adalah ziarah Islam tahunan ke Makkah. Hal ini merupakan kewajiban wajib bagi umat Islam dan harus dilakukan setidaknya sekali seumur hidup oleh semua orang Muslim dewasa, yang yang secara fisik dan finansial mampu melakukan perjalanan, dan dapat mendukung keluarga mereka selama ketidakhadiran mereka. Jadi, pengertian haji adalah berniat melakukan perjalanan ke Makkah. Pengertian haji secara bahasa adalah menyengaja atau menuju. Sedangkan, pengertian haji menurut istilah adalah menyengaja pergi ke tanah suci Mekkah untuk beribadah, menjalankan tawaf, sa’i, serta wukuf di Arafah, maupun menjalankan seluruh ketentuan-ketentuan ibadah haji pada waktu yang telah ditentukan serta dilakukan dengan tertib. Umroh sendiri dalam syariat Islam berarti berkunjung ke Baitullah atau Masjidil Haram yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada sang kuasa yakni Allah SWT dengan memenuhi seluruh syarat syaratnya dengan waktu tak ditentukan seperti pada ibadah Haji dan UmrohSetelah mengenali pengertian haji dan umroh, kamu juga harus mengetahui hukumnya dalam Islam. Haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan hukumnya wajib dilaksanakan bagi seluruh umat Islam yang memenuhi syarat wajib untuk melaksanakannya. Kewajiban melaksanakan haji bagi yang mampu ini didasarkan pada firman Allah SWT pada QS Ali Imran ayat 98. “Dan bagi Allah subhanahu wata’ala, wajib bagi manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah.” QS Ali Imran 98. Bagi mereka yang mengingkari atau menghindari haji padahal mampu dan memenuhi syarat, maka ia termasuk kaum yang berdosa. Sementara itu, hukum ibadah umroh masih menjadi perdebatan di antara para ulama. Dari ayat QS Al-Baqarah 196, umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dan umroh untuk Allah. “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah untuk Allah,” QS al-Baqarah 196. Terdapat banyak hadist yang menjelaskan tentang hukum ibadah umroh. Beberapa menyamakan hukum umroh dengan haji, tetapi ada pula yang menyebut hukum melaksanakan umroh adalah Pelaksanaan Haji dan UmrohSejumlah jemaah saling jaga jarak saat melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah di dalam Masjidil Haram saat melakukan rangkaian ibadah haji di Kota Suci Mekkah, Arab Saudi, Rabu 29/7/2020. Karena pandemi virus corona COVID-19, pemerintah Arab Saudi hanya membolehkan sekitar orang. AP PhotoSelain mengetahui pengertian haji dan umroh beserta hukumnya, kamu tentunya juga perlu mengenali waktu pelaksaannya yang berbeda. Pelaksanaan ibadah haji dilakukan setiap satu tahun sekali dan selalu memiliki jumlah jemaah yang banyak dan berasal dari seluruh penjuru dunia. Waktu pelaksanaan ibadah haji terbatas dibandingkan waktu pelaksanaan ibadah umroh. Waktu pelaksanaan haji terbatas hanya pada rentang waktu awal bulan Syawal sampai Hari Raya Idhul Adha di bulan Dzulhijjah. Sementara, ibadah umroh bisa dilaksanakan kapan saja tanpa ada batasan rentang waktunya, kecuali pada hari tertentu seperti hari Arafah pada 10 Zulhijah dan hari-hari Tasyrik tanggal 11, 12, 13 Zulhijah. Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani berkata “Dan waktu, waktu dalam haji adalah mulai dari permulaan bulan Syawal sampai fajar hari raya Idul adha Yaumu al-nahr dan umrah bisa dilakukan di sepanjang tahun." Abu Abdil Mu’ti Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, al-Haromain, hal. 201.Rukun dan Kewajiban Ibadah Haji dan UmrohRukun Haji dan Umroh Rukun dalam ibadah menjadi penentu keabsahan ibadah yang dilakukan. Hal tersebut juga berlaku untuk ibadah haji dan umroh. Rukun dalam ibadah haji dan umroh bersifat batal bila tidak dilakukan dan tidak bisa diganti dengan denda. Seperti yang diketahui, terdapat lima rukun dalam haji yaitu niat ihram, wuquf di Padang Arafah, tawaf, sa’i, dan memotong rambut. Kelima rukun ini harus dilakukan seluruhnya guna memenuhi keabsahan ibadah haji yang dilakukan. Jika tidak bisa melaksanakan seluruh rukun haji ini dikarenakan satu dan lain hal, maka nilai ibadah haji akan berkurang. Syekh Abdullah Abdurrahman Bafadhal al-Hadlrami berkata “Rukun-rukun haji ada lima, yaitu niat ihram, wuquf di Arafah, tawaf, sa’i dan memotong rambut. Dan rukun-rukun umrah ada empat yaitu ihram, tawaf, sa’i dan memotong rambut,” Syeh Abdullah Abdurrahman Bafadhol al-Hadlrami, Busyra al-Karim Bi Syarhi Masa-il at-Ta’lim Ala al-Muqaddimah al-Hadlrasmiyah, Dar al-Fikr, juz 2, hal. 55. Untuk rukun umroh, yaitu niat ihram, tawaf, sa’i, dan memotong rambut. Perbedaan haji dan umroh hanyalah wuquf di Padang Arafah yang hanya dilaksanakan oleh Jemaah haji saja. Jemaah umroh tidak melakukan wuquf di Padang Arafah. Kewajiban Ibadah Haji dan Umroh Pada haji dan umroh, Jemaah wajib menjalankan serangkaian ritual manasik, yang apabila ditinggalkan tidak membatalkan ibadah, namun wajib diganti dengan denda. Kewajiban ibadah haji ada lima, yaitu niat ihram dari miqat, batas area yang telah ditentukan sesuai dengan asal wilayah Jemaah, menginap di Muzdalifah, menginap di Mina, tawaf wada’ atau perpisahan, dan melempar jumrah. Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari berkata “Kewajiban-kewajiban haji yaitu ihram dari miqat, menginap di Muzdalifah dan Mina, tawaf wada’ dan melempar batu,” Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, Qurrah al-Aini, al-Haramain, hal. 210. Sedangkan kewajiban umroh hanya dua, yaitu niat dari miqat dan menjauhi larangan-larangan ihram. Jumlah kewajiban yang lebih sedikit ini membuat pelaksanaan ibadah umroh menjadi lebih cepat selesai dibanding haji. Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani berkata “Sedangkan kewajiban-kewajiban umrah ada dua yaitu ihram dari miqat dan menjauhi larangan-larangan ihram” Syekh Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi al-Bantaniy, Tausyikh Ala Ibni Qosim, al-Haramain, hal. 239.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

haji dan umrah termasuk ibadah mahdah oleh sebab itu